4 Tahun jadi Sarjana atau Jutawan ?
Sama‑sama "menginvestasikan" waktu empat tahun, hasil sekolah dan network marketing sangat berbeda. Sekolah hanya mencetak sarjana yang sulit mencari kerja. Sedang empat tahun di network marketing mencetak jutawan. Mana yang dipilih ?
Soal pendidikan murah, malah gratis lagi, selalu menjadi "jualan" yang menarik setiap negeri ini menggelar pesta demokrasi. Entah itu menuju singgasana presiden, ataupun penguasa kaliber Daerah Tingkat (Dati) I propinsi, alias gubernur. Semua kontestan, dari mulai partai gurem sampai partai besar, mengumbar janji manis.Tapi, karena lidah memang tak bertulang, janji pun menguap begitu saja. Jangankan pendidikan gratis dan murah, merealisir anggaran pendidikan 20 persen dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sesuai amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat dipimpin oleh Bapak Reformasi, Amien Rais, negeri ini pun masih ngos‑ngosan. Jauh tertinggal dengan negara tetangga, seperti
Padahal, semua anak bangsa sampai saat ini, tetap mengidolakan sekolah sebagai "kendaraan" mewujudkan cita‑cita, seperti insinyur, pilot, pengacara, polisi, tentara, dokter dan seabrek cita‑cita lainnya.Di sisi lain, karena mahalnya biaya pendidikan,jadilah cita‑cita itu hanya dimiliki keturunan birokrat yang korup, ataupun pengusaha yang ngemplang dana Bantuan Likwidasi Bank Indonesia (BLBI), ataupun mereka yang suka kongkalikong dengan penguasa untuk ngentit uang negara. Sementara anak wong cilik ‑ mohon maaf ‑mungkin hanya bisa menjadi penonton.
Cobalah kita hitung mahalnya kocek untuk merealisir cita‑cita itu, katakan saja menjadi sarjana. Umpamanya, masuk kuliah, dikenakan biaya Rp 3 juta (biaya paling biaya ujian, pratikum, membuat skripsi dan sebagainya. murah) untuk gedung, pendaftaran dan sebagainya. Lalu, per semesternya, Rp 2 juta (biaya paling murah). Jika si mahasiswa itu pintar, kuliahnya akan selesai delapan semester, maka biayanya Rp. 2 juta x 8 = Rp. 16 juta. Jadi,total biaya yang dikucurkan Rp 18 juta.
Jumlah itu, belum termasuk uang jajan, transport, biaya ujian, pratikum, membuat skripsi dan sebagainya. Ujung-ujungnya bisa membengkak lagi, mencapai Rp. 30 jutaan. Nah, jika dihitung dari SD, SMP dan SMA, bukan mustahil alokasi yang disiapkan untuk mencapai sarjana, mencapai Rp 50‑an juta.
Ironisnya, setelah 4 tahun bergelut dengan buku (perguruan tinggi), seteah kocek yang dikeluarkan mencapai Rp. 50 juta menjadi sarjana, temyata kepastian masa depan belum juga bisa diperoleh. Bahkan, bukan mustahil gelar bakal bertambah lagi : pengangguran terdidik. Ini, harap maklum, daya serap lapangan pekerjaan formal begitu minim. Belum lagi, mereka yang bekerja pun tetap dilanda "sport jantung", menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), rasionalisasi dan sebagainya.
Lantas, bagaimana dengan network marketing? Ternyata, bisa dijadikan pilihan. Alasannya, seperti dikatakan oleh Robert T. Kiyosaki, network marketing tak ubahnya sekolah bisnis kehidupan nyata, yang dapat mengcover minusnya entrepreneurship sekolah‑sekolah formal. Di bisnis ini, orang diajarkan tentang kesuksesan dan kegagalan, dua hal yang tak diajarkan di sekolah‑sekolah formal. Lihat saja "kurikulum" network marketing sarat dengan pengembangan entrepreneurship, yang dalarn batasan guru manaJemen kondang dunia, Peter F. Drucker, merupakan perilaku yang bisa ditiru dan dicontek. Bukan sebagai gejala kepribadian.
Adapun kurikulum itu, antaralain, sikap terhadap kesuksesan, keahlian memimpin, keahlian berkomunikasi, mengatasi ketakutan pribadi, keraguan, ketidakpercayaan diri, keahlian manajernen uang dan waktu, penentuan tujuan dan sebagainya.
Nah, kurikulum itu, sepertiditulis dalam bukunya berjudul The Rich Dad's Business People, merupakan kunci kesuksesan seorang networker. Bukan ditentukan oleh produk berkualitas maupun marketing plan yang menggiurkan. Kurikulum itu pula, yang mengantarkan networker memiliki perilaku entrepreneurship, yang bisa ditiru dan dicontek. Atau, dalam jagad bisnis ini, dikenal dengan istilah duplikasi.
Ternyata, karena mencontek dan meniru. itu, maka. empat tahun waktu yang diinvestasikan di network marketing, hasilnya jauh menggiurkan ketimbang di kampus. Ini bukanlah sekadar membual tanpa dasar. Tengok saja, Muhammad lwan. Ketika bergabung di Tianshi, lelaki asal Palu, Sulawesi Tengah yang kuliah di Yogyakarta ini, masih tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL), November 2002 Inlu
Bahkan ketika bergabung, seperti digembar‑gemborkannya dalarn Vision Seminar, lwan, demikian sapaan akrabnya, punya uang sangat terbatas, Rp 10.000. Padahal, ia ingin melompat langsung ke Bintang 3, yang biayanya sebesar Rp 2 juta. Lalu, apa solusinya? lwan pun terpaksa meminjarn uang dari temannya yang menggadaikan motor untuk membayar uang kuliah. Kebetulan, uang gadaian motor itu Rp. 4 juta. "Saya pinjam Rp. 2,5 juta. Rp 2 juta saya gunakan untuk join di Tianshi. Sedang sisanya, saya gunakan untuk kebutuhan sehari‑hari," ungkapnya.
Ternyata, 4 tahun berjihad di Tianshi, hasilnya tidak sia‑sia. Isi koceknya bukan lagi recehan. Melainkan jutaan, plus memperoleh gratis mobil Mercedez Benz C 230, saat perusahaan asal Cina itu menggelar konvensi di Stadion Gelora Bung Karno, September 2006. lwan pun, setelah lulus, tidak repot‑repot menjajakan ijasah, terus melenggang menjadi networker. Peringkatnya saat ini Bronze Lion.
Selain Iwan, ada puluhan lagi mereka yang menggeluti profesi networker selagi di kampus, berhasil menyandang atribut sebagai networker jutawan. Sebut saja Livia Helen, yang sampai saat ini masih memegang rekor Bronze Lion yang meraih empat penghargaan: vila, pesawat terbang, kapal pesiar dan BMW, dus membangun rumah seharga Rp. 2 miliar. Padahal, kiprahnya di Tianshi, bila dihitung dari keanggotaan, 21 Maret 2001, relatif 6 tahun 6 bulan (sampai September) ini.
Bahkan, mojang Priangan ini, bila dihitung dari BMW, relatif hanya I tahun (menerima di Berlin, 2002). Sedang kapal pesiar dan pesawat terbang, hanya 3 tahun (di Malaysia, Januari 2005). Sedang vila, Mei 2006 lalu di konvensi Cina.
Lalu, pertanyaannya, tinggalkan kampus, tercebur full time di network marketing? Itu pun bukan pilihan bijak. Kenapa? Karena network marketing waktunya sangat fleksibel, kapan saj a bisnis ini dapat dilakoni. Jadi, di sela‑sela waktu kuliah, bisnis ini bisa dilakoni, tanpa mesti mengganggu jadual kuliah. Siapa tahu, Anda bisa mengikuti jejak‑jejak networker kampus lainnya (Lihat, tabel dari kampus jadi jutawan).
DARI KAMPUS JADI JUTAWAN
NO | NAMA | KEANGGOTAAN/TAHUN | PENGHARGAAN | |
1 | Ferawty H | Januari 2001 Gold Lion | BMW (2002), Kapal Pesiar, Pesawat Terbang (2005) | Tianshi |
2 | Livia Helen | Maret 2001 Silver Lion | BMW (2002), Kapal Pesiar, Pesawat Terbang (2005), Villa (2006) | Tianshi |
3 | EricYong | Desember 2001 Silver Lion | BMW (2002), Kapal Pesiar, Pesawat Terbang (Mei 2006), Villa (September 2006) | Tianshi |
4 | Eventius Purwoko | Januari 2002 Silver Lion | BMW (2005), Kapal Pesiar, Pesawat Terbang (2006) | Tianshi |
5 | Irvan Setiawan | 2002 Silver Lion | BMW (2005), Kapal Pesiar (2006) | Tianshi |
6 | Yobeth Patu S | Juni 2001 Bronze Lion | BMW (2005) | Tianshi |
7 | Lily Ulung S | 2001 Bronze Lion | BMW (2002) | Tianshi |
8 | Andrey L | Desember 2002 Bronze Lion | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |
9 | Ruly W | Akhir 2002 Bronze Lion | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |
10 | M. Iwan | November 2002 Bronze Lion | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |
11 | Nursam | 2002 Bintang 8 | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |
12 | Abdi S | 2002 Bintang 8 | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |
13 | Feryanto | 2002 Bintang 8 | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |
14 | | Awal 2003 Bronze Lion | Mercedes Benz (2006) | Tianshi |